HIDUP BERSAHAJA SEBAGAI PILIHAN KEHATI-HATIAN



HIDUP BERSAHAJA SEBAGAI PILIHAN KEHATI-HATIAN


AMBISI dan keinginan manusia seringkali sangatlah muluk. Apa saja yang dimilikinya selalu terasa kurang. Oleh karenanya, ada yang mengibaratkan perlombaan hidup duniawi seperti menaiki kendaraan di jalan raya. Setiap kali melihat kendaraan lain di depan, kita selalu berhasrat untuk mendahuluinya. Segala daya dikerahkan, dan sekecil apa pun peluang dimanfaatkan. Namun, ketika kendaraan itu telah berhasil dilampaui, kepuasannya hanya sekejap mata. Sebab, di depan kita ternyata sudah ada lagi ratusan bahkan ribuan kendaraan lain. Maka, berkobarlah kembali hasrat itu, bahkan semakin menggila. Tanpa sadar, kita pun terjun dalam perlombaan yang tak berujung.
Demikian pulalah ambisi kehidupan duniawi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seandainya anak Adam mempunyai harta sebanyak dua lembah, niscaya dia akan mencari yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi rongga (perut) anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan menerima pertaubatan siapa saja yang mau bertaubat.” (Riwayat Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, dan Muslim dari Anas bin Malik).
Benar. Tidak akan ada yang bisa menghentikan ambisi seperti itu selain kematian; tatkala tanah telah memenuhi rongga perut manusia. Ketika itulah segala ambisinya padam, dan ia pergi hanya berbekal secarik kain kafan. Dilepasnya segala yang selama ini ia perjuangkan mati-matian: rumah dan kendaraan, emas dan perak, anak dan istri, karir dan jabatan, bahkan seluruh dunia ini. Hanya amal yang menyertai, entah baik atau buruk.
Jika nasib seluruh manusia akan seperti itu, mengapa kita tidak memilih meringankan beban dan menyederhanakan hidup? Mengapa kita tidak mengambil dari dunia ini seperlunya karena ia pasti ditinggalkan, dan memperbanyak bekal yang pasti dibawa menghadap Allah, yakni amal shalih? Dikatakan dalam sebuah hadits, “Orang cerdik adalah seseorang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk (mempersiapkan kehidupan) setelah kematian. Sedangkan orang lemah adalah seseorang yang memperturutkan hawa nafsunya, kemudian berangan-angan (mendapat rahmat) Allah.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Syaddad bin Aus, dengan isnad lemah).
Maka, demikianlah peragaan nyata yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya. Tempat tinggal dan perabot rumah tangga mereka bersahaja, tidak tergoda oleh kemewahan. Makanan dan pakaian mereka pun sederhana, tidak berlebihan. Tetapi, jangan tanya amal mereka: shalatnya, puasanya, sedekahnya, jihadnya, tilawahnya, dzikirnya, tawakkalnya, sabarnya, dsb. Kehidupan mereka secara tepat digambarkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Fadhalah bin ‘Ubaid, “Beruntunglah orang yang diberi hidayah ke dalam Islam, penghidupannya mencukupinya, dan ia merasa puas dengannya.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih).
Sungguh, inilah kebahagiaan: hidup dalam naungan Islam, diberi rezeki yang cukup, dan memiliki hati yang puas (qana’ah). Jika salah satunya hilang, maka yang lain menjadi limbung bahkan ambruk tanpa daya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad itu mencukupi.” (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah). “Cukup” artinya: tidak kurang sehingga menggelisahkan, dan tidak berlebih sehingga menyibukkan.
Mungkin, ada yang terpikir, bahwa pilihan itu berarti hidup berkekurangan, melarat dan memprihatinkan. Namun, kehidupan para Sahabat dan generasi Salaf ternyata tidak seperti itu. Banyak diantara mereka yang penghasilannya “mencengangkan”. Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf adalah contoh-contoh klasik dalam kategori ini.
Tetapi, mereka mengambil secukupnya bagi diri sendiri, lalu menyalurkan selebihnya di jalan Allah. Sejarah mencatat bagaimana Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya, ‘Umar menginfakkan setengah hartanya, dan ‘Utsman menyiapkan ribuan kuda perang lengkap dengan persenjataan dan perbekalannya. Tidak ketinggalan, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bersedekah senilai 40 ribu dirham (setara 2,7 milyar rupiah lebih). Penghasilan tahunan Laits bin Sa’ad sekitar 20 ribu dirham, sedangkan ‘Abdurrahman bin Mahdi meraup 2 ribu dinar per tahun (senilai 4,4 milyar lebih).
Apakah mereka hidup mewah? Ternyata tidak. Lalu, kemana larinya uang sebanyak itu? Ya, mereka membagikannya. Mereka berbahagia telah menjadi perantara Allah dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya.
Barangkali, di sinilah letak perbedaan generasi mereka dengan sebagian orang di masa sekarang. Keduanya sama-sama bekerja keras meraih apa yang bermanfaat bagi mereka, namun setelah berhasil sikap hidupnya ternyata berbeda. Yang satu tetap bersahaja dan tidak enggan berbagi, sementara yang lain segera berubah dan semakin pelit. Jika demikian masalahnya, maka benarlah perkataan Imam Syafi’i, “Kefakiran para ulama’ adalah pilihan mereka sendiri, sedangkan kefakiran orang-orang bodoh adalah karena terpaksa.” (Dikutip an-Nawawi dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat).
Para pendahulu kita itu memilih hidup bersahaja diatas segala kelimpahan materi yang mereka miliki, secara sengaja dan sadar. Sementara sebagian dari kita memburu kelimpahan itu lalu menumpuknya untuk diri sendiri, dan terkadang samasekali tidak memperdulikan kehalalannya. Jika pun hidup bersahaja, seringkali karena tidak ada pilihan lain. Maka, berhati-hatilah orang yang menjadikan ‘Abdurrahman bin ‘Auf sebagai idolanya! Jangan semata-mata tergiur dengan besarnya harta yang beliau miliki, namun tidak memperhatikan bagaimana beliau hidup dan kemana harta itu disalurkan dan dibelanjakan.
Sementara di sisi lain, adalah sosok pemimpin teladan bernama Salman al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah. Ketika kekhalifahan Umar bin Khattab, Salman diangkat untuk menjadi Gubernur Kufah penduduk memadati jalan raya untuk menyambut kedatangannya dengan mewah. Betapa kagetnya masyarakat, dikira kedatangannya akan diiringi sebuah pasukan besar, tidak tahunya ia datang sendiri dengan menunggang seekor keledai.
Seperti diketahui, kala itu penduduk Iraq hidup berdampingan dengan Persia yang dikenal memiliki istana megah menjulang tinggi dipenuhi emas dan permadani. Penduduk Kufah mengira Islam adalah agama yang megah dan mewah ternyata mereka salah.
“Kami datang secara bersahaja. Kami hidup untuk jiwa, dan kami datang untuk mengangkat derajat iman di dalam hati.”
Kala menjadi menjadi Gubernur Kufah dan ia mendapatkan gaji 5000 dirham, gaji sebagai pejabat daerah ia justru membagi gajinya menjadi 3 bagian. Sepertiga untuk dirinya, sepertiga untuk hadiah dan sepertiga sisanya untuk sedekah
Saat sakaratul maut, Salman menangis. Penduduk Kufah pun bertanya, “Kenapa engkau menangis?”
“Aku menangis karena Rasulullah pernah bersabda kepada kami, Hendaklah bekal kalian di dunia seperti bekal orang yang bepergian. Sementara kita semua lebih suka menumpuk harta dunia.” Demikian Salman mengutip hadits yang diriwayatkan Ahmad.
Penduduk lantas menjawab, “Semoga Allah mengampunimu. Lantas sebanyak apa harta yang kau miliki Salman?”
“Apa kalian meremehkan ini? Aku takut pada hari kiamat akan ditanya tentang sorban, tongkat dan wadah ini.” Inilah sikap zuhud dan wara’ nya seorang beriman bernama Salman al-Farisi. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar