Ibu*


Oleh: Muhammad Atho’illah



“Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia”.


Berbicara tentang ibu, tak lepas dari berbicara tentang wanita. Karena memang sosok yang melahirkan kita itu adalah wanita. Di zaman jahiliah, kaum ibu dan wanita pernah tertindas dan selalu diimperiorkan. Lelaki dianggap berharkat dan bermartabat, sedangkan wanita tidak. Anak perempuan yang lahir merupakan aib bagi keluarga. Sedangkan jika yang lahir adalah bayi laki-laki maka kebanggaan yang luar biasa bagi keluarga dan suku. Begitulah kepicikan mereka dalam berfikir. Padahal mereka lupa bahwa diri mereka tak bisa lahir dan menatap indahnya dunia ini tanpa adanya ibu dan wanita.


Islam pun datang untuk memperbaiki tatanan bobrok tersebut. Sebuah kesetaraan sosial antara pria dan wanita. Islam tidak memandang tinggi atau pun rendah derajat, harkat, dan martabat apapun serta siapapun. Negara, bangsa, suku, budaya, pejabat, ulama, guru, petani dan lainnya. Termasuk antara pria dan wanita. Dulu, Islam dalam pengaruh budaya patriarkal di sebagian wilayah Indonesia ini (budaya Melayu), pernah menjalankan budaya yang sekali lagi mengesampingkan kaum wanita. Wanita ketika sudah remaja dipingit, diajarkan dan disiapkan untuk hanya menjadi isteri yang sholehah, menjadi ibu rumah tangga yang baik, dan mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga lainnya. Tidak perlu kuliah, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Laki-laki/suamilah sebagai pemimpin yang akan mengimami nantinya, mencari nafkah, mengajarkan ilmu-ilmu yang telah didapat tinggi-tinggi.


Ar-rijaalu qawwaamuuna ‘alan-nisaa’”. Ayat inilah yang pernah dipatok dan menjadi pendukung budaya patriarkal dahulu. Konsekwensinya adalah wajah Islam dalam aspek sosio-gender, dianggap patriarkis. Maka timbullah orang-orang yang skeptis terhadap Islam serta kaum feminis yang menganggap bahwa Tuhan menciptakan dunia ini hanya untuk kaum Adam. Sungguh tragis. Hal ini pernah menjadi boomerang terhadap Islam sendiri. Banyak misionaris serta orang yang ragu terhadap Islam menggunakan argumen ini untuk menimbulkan keragu-raguan terhadap pemeluk Islam, khususnya kaum wanita. Begitulah ketika agama dan budaya bersentuhan. Atau mungkin, kita harus membedakan lagi yang mana 'agama Islam' dan yang mana 'budaya Islam'. Begitulah kita sebagai Muslim harus meninjau kembali penafsiran kita terhadap agama dan teks-teks suci seobjektif dan sebijaksana mungkin.


Padahal nabi kita SAW. pernah bersabda: “Al-jannatu tahta aqdaamil-ummahaat.” Inilah buki kongkrit bahwa Islam tidak meninggikan atau merendahkan antara laki-laki dan perempuan. Bayangkan, bagaimana bisa surga, tempat yang dijanjikan apabila kita taat beragama dengan benar, ada di bawah telapak kaki ibu? Apakah kita harus berlutut, bersimpuh, mencium, atau bersujud di bawah telapak kaki beliau? Mungkin saja itu sebuah simbol bahwa betapa besarnya peran wanita sebagai ibu. Beliau SAW. juga pernah ditanya oleh seseorang tentang siapa yang pertama-tama wajib dihormati antara ayah dan ibu, dan beliau bersabda “ummuka” sampai tiga kali pertanyaan diulang, tetap jawaban beliau adalah “ummuka”, barulah pada pertanyaan “siapa lagi?” yang terakhir beliau menjawab “abuuka”.


Bukanlah suatu yang berlebihan apa yang terlontar dari lidah nabi Muhammad SAW. tersebut. Karena kita semua tahu bahwa beliau bukan orang yang berlebihan dalam berkata-kata kecuali seperlunya. Bukanlah hawaa yang keluar dari lidah beliau melainkan wahyu. Bahkan sesekali pernah terdengar suatu pernyataan yang berlebihan tentang figur seorang ibu. Yaitu, “Ibu adalah tuhan di dunia ini.” Saya akui ini sangat berlebihan. Tetapi bukanlah makna harfiah yang harus kita resap dari kata-kata itu, melainkan makna yang tersirat sangat dalam dari pernyataan itu yang dapat kita renungkan.


Bagi saya, wajar saja pernyataan berlebihan seperti itu. Apakah kita sudah tahu bahwa ASI yang kita minum terdapat kandungan darah? Tidak hanya itu, ASI juga mengandung RNA-DNA yang dimanfaatkan untuk membuktikan hubungan kekeluargaan antara seseorang dan orang lain. Sang ibu, memberikan makan kita dengan darah, sementara sang ayah hanya dengan harta beliau. Sang ibu menggendong kita di dalam perut, bersama seluruh beban dalam tubuh beliau, sementara sang ayah, menggendong kita hanya dengan menggunakan kedua tangan kekar beliau. Sang ayah mengawali kehidupan janin kita dengan syahwat beliau, sedangkan sang ibu memelihara kehidupan janin kita dalam kandungan beliau dengan seluruh saripati dan darah beliau.


Bayangkan! Ibu yang melahirkan kita dengan susah payah. Bayangkan! bagaimana rasanya ketika beliau mengeluarkan kita dari rahim beliau? Mungkin bisa saja kita mengatakan bahwa itu terasa sangat menyakitkan. Sering juga kita mendengarkan dari para orang tua, rasanya antara hidup dan mati. Namun, apakah kita pernah merasakan secara langsung, apa yang beliau rasakan ketika itu? Dan mengapa beliau mau ‘merepotkan’ diri hanya demi agar diri kita terlahir ke dunia ini? Sudahkah kita membuat bibir beliau tersenyum? Apakah kelakuan serta ucapan kita menyenangkan beliau, atau sebaliknya? Ataukah keberadaan kita di sisi beliau tidak berarti apa-apa, bahkan tidak berguna sama sekali? Na’uudzu billaahi min dzaalik.


Mulai sekarang dan seterusnya, marilah kita hormati ibu kita. Kita muliakan beliau. Kita bahagiakan beliau. Jangan sampai air yang keluar dari mata beliau karena kita, kecuali air mata serta senyum bahagia karena kitalah, yang harus kita perjuangkan. Kita tak akan pernah bisa membalas segala jerih dan payah seorang ibu terhadap kita, kecuali kita hanya bisa berusaha untuk membahagiakan beliau. Hormati ibu dan wanita. Pandanglah kemuliaan seorang ibu dalam memandang kaum wanita. Niscaya kita akan menghormati mereka. Jika memang kaum pria mengaku kuat, maka pergunakanlah kekuatan itu untuk melindungi kaum wanita dan mendukung mereka. Semoga kita semua dapat menempuh apa yang terletak di bawah telapak kaki ibu kita itu. Amin.


*Tulisan ini ku persembahkan untuk ibuku dalam rangka memperingati hari ibu pada tanggal 22 Desember, 2010.


Robbighfirlii wa liwaalidayya warham humaa kamaa robbayaanii soghiiro.