Columbus mengarungi samudra dan menemukan sebuah benua yang ia sangka Asia. Ia tidak sedang menyangkal Injil.
Memang sampai hari ini banyak yang percaya, (termasuk Presiden Obama),
ia telah menangkis orang-orang kolot, terutama di Gereja Katolik, yang
menganggap bumi datar seperti cakram. Tapi tak demikian sejarah
mencatat. Pada 3 Agustus 1492 itu, ketika kapal Santa Maria dan dua
kapal lain angkat sauh dari Paola de la Frontera menuju Asia melalui
Atlantik, 88 awak kapal itu, seperti umumnya orang awam maupun
cendekiawan zaman itu -- juga hierarki Gereja -- sudah biasa dengan
pengetahuan bahwa bumi berbentuk bola.
Tak ada kaum "bumi-datar" yang sekarang terdengar suaranya. Sudah sejak 2000 tahun lamanya bentuk bumi disepakati.
Pada abad ke-5 Sebelum Masehi, Plato -- yang pernah belajar matematika
Pythagoras di Italia Selatan -- sudah mengatakan sesuatu yang 25 abad
kemudian dibuktikan para astronout: andai orang bisa terbang mengatasi
awan, ia akan melihat "bumi seperti salah satu bola yang berselaput
kulit."
Gambaran itu kemudian diperkuat para pakar astronomi Islam dengan matematika dan kecermatan empiris.
Syadan, di tahun 830, di Baghdad, Khalif al-Ma'mun mendirikan
Bayt-al-Himah, "Balai Kearifan". Bagi sang Khalif, ilmu memang harus
menempuh perjalanan ("sampai ke Negeri Cina", sabda Rasulullah), berani
menemui sumber kafir maupun tak kafir. Di Balai itulah ia himpun para
ilmuwan. Ia undang pakar dari luar, dari India, misalnya. Di sana juga
karya ilmiah Yunani, India, dan Persia diterjemahkan.
Dari
komunitas ilmu ini bermunculan para astronom dan matematikawan
termashur. Ada al-Khwarizmi, (780-850), penemu aljabar yang bisa
menghitung secara detail posisi matahari, bulan dan sejumlah planet. Ia
juga menyusun satu tabel garis bujur dan garis lintang 2402 kota dan
tempat-tempat terkenal, yang jadi dasar peta bumi awal.
Ada
juga al-Farghani. Karyanya antara lain membahas garis lingkar bumi,
penemuan yang dipakai di seluruh dunia Islam dan diterjemahkan ke bahasa
Latin.
Para astronom ini memang masih berangkat dari
paradigma pra-Kopernikus yang menunjukkan bahwa matahati-lah yang
mengitari bumi dan bukan sebaliknya; tapi sudah mulai tampak kritik
kepada sistem Ptolomeus. Di dasawarsa kedua abad ke-11, misalnya,
terbit karya Ibnu al-Haytham, Al-Shukuk ala Batlamyus ("Keraguan atas
Ptolomeus").
Persoalan yang dihadapi jelas bukan lagi perihal
bumi datar atau bulat. Tak ada lagi perdebatan tentang itu, juga di
luar dunia Islam. Bersama masuknya pengaruh al-Khwarizmi dan lain-lain
ke dunia ilmu Eropa di abad ke-11, sisa-sisa kepercayaan bumi-datar
terkikis. Ada satu kutipan dari Thomas Aquinas, theolog dan pemikir
Gereja Katholik di abad ke-13 yang berpengaruh itu: "Fisikawan
membuktikan bumi bulat dengan satu cara, pakar astronomi membuktikannya
dengan cara lain."
Di pertengahan abad ke-13, seorang astronom
Muslim tinggal di Beijing. Ia membantu Maharaja Khubilai Khan
membangun "biro astronomi Islam" di ibukota itu. Orang Cina
memanggilnya "Zhamaluding". Nama aslinya Jamal ad-Din Muhammad al-Zaydi
al-Bukhari -- seorang dari Bukhara. Kepada Khubilai Khan ia persembahkan
seperangkat piranti ilmu perbintangan. Salah satunya sebuah bola dunia
terbuat dari kayu, dan agaknya merupakan globe pertama dalam sejarah
Tiongkok.
Globe (bukan cakram, bukan telur dadar) memang
menggambarkan bentuk bumi -- itulah konsensus ilmiah berabad-abad. Maka
tak perlu Columbus membawa teori baru untuk mencapai Asia di Timur
dengan mengarungi lautan ke Barat. Memang, seperti sudah disebut d
atas, ada kisah ia diserang dengan ayat-ayat Injil yang menegaskan bumi
datar. Itu konon terjadi di Majelis Salamanca, tempat ia diuji
sejumlah pakar dan pembesar Gereja. Tapi peristiwa ini, disebut dalam
The Life and Voyage of Columbus, karya Washington Irving di tahun 1828,
kini dianggap bagian dari fiksi. Irving hanya ingin mendramatisir peran
sang penjelajah sebagai pembangkang.
Cerita seperti itu
memang menarik bagi semangat rasionalis abad ke-19: bentrok antara ilmu
yang piawai dan agama yang konyol.
Tapi kita tahu konflik
itu tak terjadi dalam astronomi Islam. Ironisnya, kini justru ada orang
yang membenarkan prasangka modern yang memuja ilmu. Mereka yakin bumi
datar sebagaimana diisyaratkan Injil dan Qur'an. Mereka yakin pendapat
bumi-bulat hanyalah persekongkolan dusta NASA, para penganut Free Mason
dan entah apa lagi.
Bisakah paranoia ini lenyap? Mungkin
tidak. Tapi mungkin ada yang berguna dari kaum bumi-datar: sikap kritis
kepada otoritas ilmu yang belum tentu sumber kebenaran.
Sayangnya, sikap kritis itu berhenti di sana, mandeg dalam pikiran
yang keras dan tertutup. Kita kehilangan Colombus, kehilangan
keberaniannya menjelajah, meskipun salah.
Goenawan Mohamad
sumber:
https://m.facebook.com/goenawanmohamadofficial/photos/a.1514143361933124.1073741828.1266669420013854/1607960482551411/?type=3 .
0 Komentar