Suatu malam, di kelompok diskusi meta-fisika kami yang kecil namun sarat materi singkat yang penuh dengan bobot, salah satu dari kami, peserta, ada yang bertanya kepada pengasuh kami, "Menurut Anda, bagaimana hukumnya (dalam agama) 'meingu' (memelihara; red.) 'wasi' (besi, misal; parang, mandau, keris, dll.; red.)?". Saya suka pertanyaan ini, karena saya punya pendapat pribadi dan tersendiri tentang hal ini. Saya cendrung ke 'mubah' (membolehkan), walaupun dalam kenyataanya saya memilih untuk tidak memeliharanya. Mungkin belum. Not yet, not yet. :D
Namun, jawaban dari pengasuh, lebih saya sukai lagi. Karena diplomatis, dan juga menyelaraskan dengan keadaan dan praktik di lapangan, "Tergantung niatnya", jawab beliau. Beliau lantas bertanya kepada teman kami itu, "Meingu bagaimana? Digunakan buat apa dan bagaimana?" Ya, pada intinya, dari pemaparan teman kami tersebut, penggunaan wasi itu sudah melewati batas 'wajar'. Jadi wajar jika pengasuh kami berkata, "Kalau begitu ceritanya, syirik itu".
Sedangkan alasan saya kenapa cendrung me'mubah'kannya adalah;
pertama, ada ungkapan dalam bahasa Arab, "Laa syaifa, illaa Dzulfiqaar, wa laa fataa illaa 'Aliyy", yang artinya, "Tidak ada pedang, kecuali Dzulfiqaar, dan tidak ada pemuda, kecuali Ali". Kita bisa melihat bahwa pedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallaahu wajhah, dinamai / diberi gelar, dengan nama / gelar Dzulfiqaar. Itu artinya menurut saya, 'wasi', dalam konteks ini pedang, layak untuk dipelihara dan dijaga. Diasah dan dipertajam. Tujuannya jelas, pada waktu itu, karena masih dalam budaya dan tradisi peperangan, layaknya Samurai di Jepang, Knight di Eropa, Yunani, dsb., pedang untuk beladiri.
kedua; sewaktu masih remaja, saya pernah menonton film Arab, yang menceritakan berislamnya Khalid bin Walid. Terlihat di film itu, bahwa Khalid bin Walid pra-Islam, adalah seorang 'tacut' (jawara; red.). Barangkali serupa dengan Umar bin Khaththab pra-Islam. Terlihat di film itu, bahwa Khalid bin Walid penasaran dan berujung kepada keterpesonaan beliau, ketika beliau melihat majlis-majlis dakwah para sahabat Rasulullaah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dari kejauhan. Dan pada akhirnya, beliaupun mengutarakan hasrat beliau untuk berislam. Maka mengucapkanlah beliau kalimat Syahadatain di hadapan salah seorang sahabat. Setelah selesai mengucapkannya, sang sahabat itu memerintahkan Khalid bin Walid untuk melepaskan benda-benda yang mengandung unsur-unsur kesyirikan dan 'TBC' (Takhayyul, Bid'ah, Churafat). Agak maksa ya, churafat. Sebenarnya Khurafat. :D Ya, benda-benda yang dianggap memiliki daya magis. Yang membuat saya agak lucu ketika melihat film itu, karena film itu mengilustrasikan Khalid bin Walid mengeluarkan dan melepaskan azimat-azimat 'batsal'. Terus, gelang-gelang, kalung-kalung, beliau lepaskan, hingga pada benda yang terakhir, yaitu pedang beliau, juga mau beliau serahkan. Namun sebelum Khalid bin Walid meletakkan pedang itu di atas tanah, sang sahabat itu memberi isyarat stop kepada Khalid bin Walid. Dan Khalid bin Walid pun menanyakan sebabnya. Saya tidak terlalu ingat jawaban sang sahabat itu. Yang jelas di telinga saya adalah, sang sahabat itu menjawab, "Qad aslama syaifuka", yang saya artikan, "Telah berislam pedangmu". Ya, pada intinya saya menangkap arti bahwa pedang seseorang, dalam konteks ini pedang Khalid bin Walid, pedang itu berislam, ketika pemiliknya / majikannya berislam. Maka dari itu, Khalid bin Walid meletakkan kembali pedang beliau yang masih tersarung dan bergantung di sabuknya, dan memasang kembali sabuk itu di pinggang jubah beliau. Dari sini bisa kita lihat, kata 'aslama' / berislam atau selamat atau menyelamatkan, adalah kata kerja. Kenapa 'syaifun' / pedang dalam kalimat sang sahabat itu menggunakan kata kerja aslama? Mungkinkah ini majaz personifikasi? Sayangnya, saya juga kurang menguasai Ilmu Balaghah. :D
Tulisan ini sekedar mencoba berbagi. Jika ada kritik, selalu dipersilakan. Saya suka menambah pengetahuan baru. Dari komentar-komentar siapapun.