(Coba-coba nulis):
Ambivert.
oleh: Muhammad Atho’illah
Suatu pagi pada bulan Juni tahun 2015, aku iseng mengisi kue sioner. Kue apa sih itu? Eh, bukan. Bukan kue. Tapi kuesioner alias angket. Sebuah kuesioner tes kepribadian yang bernama tes kepribadian MBTI. Ku isi secara online, yang linknya ku dapat dari tautan akun fb salah satu sepupuku yang kuliah sarjana dan magisternya jurusan Psikologi.
Ku klik linknya diam-diam tanpa sepengetahuan darinya. Singkatnya, hasil kepribadianku menurut tes itu adalah ENFP. Nanti ya, penjelasannya.
Lalu, pada bulan Juli pada tahun ini, 2016 tentunya, aku iseng lagi mengisi kuesioner MBTI itu. Dan hasilnya kali ini adalah INFP.
Hmmm… Ada perubahan, kan? Tapi perubahannya Cuma satu. Yaitu, yang awalnya E, kali ini menjadi I. Sudah penasaran, apa itu E dan I? Lalu apa singkatan tiga huruf selanjutnya, yaitu NFP? Emmm… Tunggu dulu, ya. Yang sabar. Masih ada cerita lagi.
Lagi, beberapa malam yang lalu, tepatnya Rabu malam, atau malam Kamis, 30 November 2016, Sewaktu mau main badminton, aku diajurkan seorang seniorku sewaktu nyantri di ponpes dan juga studi di kampus, sekaligus juga beliau menjadi coach bisnisku sekarang, beliau menganjurkan aku untuk menjawab tes MBTI itu yang terpasang di smartphone-nya, sambil nunggu giliran main badminton. Dan hasilnya kembali ke yang seperti dulu, yaitu ENFP. Awalnya menjadi E lagi.
Nah, tentunya sudah tidak sabar lagi kan, ingin mengetahui apa itu E-NFP dan I-NFP? Baiklah kalu begitu. Aku akan bocorkan semuanya.
E adalah singkatan dari Extrovert. Sedangkan I adalah Introvert. Nah, lalu tiga huruf yang tak berubah setelahnya adalah, N; iNtuition, F; Feeling dan P; Perception.
Dilihat dari hasil tes itu, secara keseluruhan hasilnya konsisten. Aku dominan tipe iNtuition, Feeling dan Perception. Yang tidak konsisten adalah Extrovert dan Introvert saja.
Berbicara tentang Extrovert dan Introvert, tentu kita akan teringat tentang aktif berbicara (extrovert) dan pendiam (introvert). Padahal itu masih kurang tepat. Extrovert bukan berarti selalu aktif dan suka bicara. Begitu pula introvert, bukan berarti selalu pendiam.
Berhubungan dengan ini, aku teringat akan sebuah artikel psikologi yang ku baca dulu, tentang extro-vert dan intro-vert ini. Ternyata di antara dua –vert itu, masih ada lagi satu –vert, yang menjadi jenis –vert yang berada di tengah-tengah dua –vert itu, yaitu: ambivert.
Ambivert adalah tipe –vert perpaduan antara extrovert dan introvert. Kadang ia extrovert, kadang introvert. Ia bisa menjadi keduanya. Ia hidup di dua alam –vert itu.
Berdasarkan itu, malam tadi aku jadi iseng lagi (emang banyak isengnya) untuk mencari tes-tes yang mengetahui tipe extrovert-introvert ini. Ada dua jenis tes yang ku dapat. Dari dua jenis kuesioner tes yang ku kerjakan malam tadi, tentang extrovert-introvert ini, dua-duanya menunjukkan hasil tes yang sama, bahwa aku adalah; seorang ambivert.
Wah, aku hidup di dua alam. Itu artinya aku tidak boleh dimakan. Horeee… Senangnya… Aku bisa hidup bebas. Hahaha… Tapi bukan itu intinya. Bukan tentang dimakan. Ya, dari situ, aku jadi tahu kelebihan dan kekurangan diriku. Dan aku menjadi maklum, kenapa aku selalu mempunyai hasrat untuk memiliki usaha dan bisnis sendiri.
Namun dari semuanya itu, aku jadi teringat lagi akan sebuah buku tentang skill development yang pernah ku beli, namun belum habis ku baca. Ada nasihat di dalamnya; buanglah segala bentuk hasil tes kepribadian. Artinya, bentuklah kepribadianmu sendiri. Agar bisa menguasai suatu skill, tak perlu harus mengetahui bakat dari hasil tes kepribadian. Tapi tumbuhkanlah bakatmu sendiri.
Begitulah, setelah berputar-putar di dalam tulisan ini, kita dianjurkan untuk tidak terlalu percaya pada hasil-hasil tes-tes kepribadian, (kalau mau percaya sih, ya, tak apa-apa. Mungkin niatnya hanya ingin untuk mempermudah) karena hasil tes kepribadian sudah mirip seperti ramalan (dalam terminologi Psikologi ada istilah self fulfilling prophecy). Dan sebaik-baik cara untuk meramal masa depan, adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri. OK?
Martapura, December 3rd, 2016.