Ada dan Tidak Ada
Berawal
dari pembicaraan antara aku dan kakak angkatanku yang sama-sama tinggal
di asrama mahasiswa Bumi Barakat, beliau sudah menjadi alumnus IAIN
Antasari Banjarmasin.
Kami asyik berbicara ngalor-ngidul sampai pada pembahasan tentang eksistensi Khaliq dan makhluq.
Beliau
menceritakan bahwa dulu teman-teman di asrama ini pernah, bahkan sering
berdebat tentang masalah eksistensi –khususnya tentang ketuhanan- ini.
Sampai-sampai satu sama lain mempertanyakan, bahkan berlanjut menjadi
menyalahkan.
Satu pihak berargumen dengan
pengetahuan yang sering didapat dalam pelajaran ilmu kalam. Yaitu,
“bukti adanya Allah SWT adalah adanya makhluq”. Sedangkan di pihak yang
lain, mungkin terkesan mempunyai pemikiran yang agak kritis, melontarkan
pertanyaan, “kalau begitu, apabila makhluq tidak ada, apakah lantas
Allah SWT pun tak ada?”.
Memang permasalahan ini
agak kompleks sehingga menimbulkan perdebatan yang akut. Akhirnya, atas
saran salah seorang di antara mereka, mereka pergi kepada orang yang
dianggap alim –tuan guru- untuk menemukan titik terang dalam permasalahan ini.
Apa jawaban orang alim itu? Beliau –tuan guru itu- menjawab: “kalau tidak ada makhluq, tentu tidak ada pula yang bertanya seperti itu. Hehehe”.
Mereka
pun terdiam dan manggut-manggut. Tidak tahu, apakah makna dari anggukan
mereka itu. Apakah anggukan mengerti, atau anggukan paksaan untuk
mencoba mengerti, atau bahkan sekedar menghormati orang alim itu, bahwa
seakan-akan ia sudah mengerti. Hehehe. Wallaahu a’lamu bish showaab.
Memang,
kalau sudah berbicara masalah ketuhanan, kita tak akan pernah sampai
kepada final mengupasnya. Kita hanya sampai pada ranah-ranah konsepsi
tentang tuhan, bukan Tuhan.
Setelah beliau
menceritakan hal tersebut, saya pun balik bercerita kepada beliau
tentang apa yang pernah saya -agak-agak ingat juga- baca dalam buku al-Hikam yang disyarahkan oleh Salim Bahreisy. Sang pengarang –Ibnu Athoillah- menulis, “Sangat
berbeda antara orang yang berdalil bahwa eksistensi Allah SWT
membuktikan eksistensi alam semesta ini, dengan orang yang berdalil
bahwa alam semesta adalah bukti akan eksistensi Allah SWT. Golongan yang
pertama, telah mengetahui kebenaran dan meletakkannya pada tempatnya.
Sedangkan golongan yang kedua, belum sampai kepada pengetahuan
tentangNya. Kapankah Allah SWT itu ghoib sehingga kita perlu membuktikan
eksistensiNya? Kapankah Allah SWT itu jauh sehingga perlu alam semesta
–makhluq- untuk membuktikan eksistensiNya?”
Begitulah kurang lebih arti bahasa Indonesia dari salah satu kalimat hikmah yang ditulis oleh Ibnu Athoillah.
Salim Bahreisy sendiri yang mensyarahkan kitab itu menulis bahwa memang antara ahli hakikat (golongan pertama) dengan ahli kalam (golongan kedua -dalam konsep Ibnu Athoillah pada kalimat hikmah tersebut di atas-) terdapat perbedaan tentang metode mengenal –eksistensi- Allah SWT. Namun apapun metode yang mereka gunakan, mereka akan bertemu di tengah pencarian.
Menurut saya, Ibnu Athoillah memang sudah berposisi pada tingkat/maqom
ahli hakikat. Dan saya menduga, sebelum beliau berada pada maqom
tersebut, beliau juga menggunakan metode ahli kalam. Karena menurut
hemat saya, tidak ada yang lahir ke dunia ini dalam keadaan langsung
cerdas/’alim. Walloohu a’lamu bish showaab.
Setelah
kami asyik berbagi/sharing, akhirnya kakak angkatanku itu menyodorkan
sebuah majalah Tempo edisi Senin 02 Maret 2009. Di akhir halaman
tersebut ada catatan pinggir (CaPing) yang berjudul ‘Mono’ ditulis oleh
Goenawan Mohamad. Saya akan menuliskan tiga paragraph terakhir dari
tulisan beliau:
>>Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai ”the logic of the One”?
Di
sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab
yang mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indonesia, Badhe Dammasubho,
menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan
sama dengan ”eka” yang berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali,
bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan
”nirbana”.
Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”.
Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”,
tak harus ”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak
tahu”.
Dan bagaimana menurut anda? Saya juga tidak
tahu harus menyimpulkan apa. Karena memang saya akan terus mencari dan
mencari agar bisa mengenalNya lebih baik. Saya hanya bisa berdoa agar
Allah SWT selalu membimbing dan mengarahkan saya, dan saya yakin itu.
Karena fithroh yang ada dalam jiwa saya, jiwa kita semua. Fithroh yang
selalu mengajak kita untuk mendekat kepadaNya. Dan saya, kita semua,
harus yakin, apapun usaha kita untuk mendekat kepadaNya, pasti Dia
menghargai dan menyukainya. Saya berharap.
Walloohu a’lamu bish showaab.
Billaahit tawfiwqu wal hidaayah.
Martapura, Rabu 15 September 2010, Pukul 00.36.
0 Komentar